Jumat, 22 Oktober 2010

BAB I
PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG
Bagi negara yang tengah bertransisi menuju demokrasi, seperti Indonesia, Pendidikan Kewarganegaraan yang mampu memperkuat barisan masyarakat sipil yang beradab dan demokratis amat penting dilakukan.
Pendidikan kewarganegaraan bukanlah barang baru dalam sejarah pendidikan nasional. Di era Soekarno, misalnya, pendidikan kewarganegaraan dikenal dengan pendidikan civic. Demikian pula masa Presiden Soeharto, pendidikan kewarganegaraan sangat intensif dilakukan dengan bermacam nama dan tingkatan.
Sayang, pelaksanaan pendidikan kewarganegaraan semasa Orde Baru (Orba), seperti Pendidikan Moral Pancasila (PMP) dan Penataran Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila (P4), ternyata menyimpang dari impian luhur kemanusiaan yang terkandung dalam dasar negara Pancasila.
Budaya dan praktik penyalahgunaan kekuasaan serta meningkatnya korupsi di kalangan elite politik dan pelaku bisnis sejak masa Orba hingga kini bisa menjadi fakta nyata gagalnya pendidikan kewarganegaraan masa lalu.
Mencermati hal penting itu, upaya reformasi atas Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan (PPKn) nasional sudah saatnya dilakukan. Beberapa unsur penting dalam pembelajaran PPKn perlu segera dilakukan perubahan secara mendasar: konsep, orientasi, materi, metode dan evaluasi pembelajarannya.
Secara konseptual, pendidikan kewarganegaraan adalah suatu bentuk pendidikan yang memuat unsur-unsur pendidikan demokrasi yang berlaku universal, di mana prinsip umum demokrasi yang mengandung pengertian mekanisme sosial politik yang dilakukan melalui prinsip dari, oleh, dan untuk warga negara menjadi fondasi dan tujuannya.
Mengaca pada realitas demokrasi di Indonesia, pendidikan demokrasi yang disubordinasikan dalam pendidikan kewarganegaraan dengan konsep itu sudah saatnya dilakukan. Tujuan pendidikan ini adalah untuk membangun kesadaran peserta didik akan hak dan kewajibannya sebagai warga negara dan mampu menggunakannya secara demokratis dan beradab.
Dalam konteks pendidikan demokrasi, pandangan tentang demokrasi dari filsuf pendidikan Amerika Serikat, John Dewey, dapat dijadikan rujukan yang relevan. Menurut dia, demokrasi bukan sekadar bentuk suatu pemerintahan, tetapi lebih sebagai pola hidup bersama (associated living) dan hubungan dari pengalaman berkomunikasi.
Oleh karena itu, kata penulis buku Democracy and Education itu, kian banyak orang terlibat dalam kepentingan-kepentingan orang lain yang berbeda, mereka akan kian banyak merujuk segala perbuatannya kepada kepentingan orang banyak, kian majemuk, dan, masyarakat itu akan semakin demokratis (Revitch, 2001). Idenya tentang demokrasi yang lebih mengutamakan kepentingan umum di atas kepentingan pribadi dan kelompok tampak sesuai realitas kultural dan sosial Indonesia yang majemuk.
Orientasi lama pengajaran PPKn yang lebih menekankan kepatuhan peserta didik kepada negara sudah saatnya diubah ke arah pengajaran yang berorientasi pada penyiapan peserta didik menjadi warga negara yang kritis, aktif, toleran, dan mandiri.
Jika orientasi pendidikan PPKn masa lalu telah terbukti gagal melahirkan manusia Indonesia yang mandiri dan kreatif, karena terlalu kuatnya muatan “pengarahan” negara atas warga negara, pendidikan kewarganegaraan mendatang seharusnya diarahkan untuk membangun daya kreativitas dan inovasi peserta didik melalui pola-pola pendidikan yang demokratis dan partisipatif.
Absennya dua faktor ini dalam sistem pendidikan masa lalu ternyata telah berakibat fatal manakala negara sendiri tidak mampu menyelesaikan persoalan-persoalan sosial.
Kenyataan ini tidak bisa dipisahkan dari peran Pendidikan Kewarganegaraan di masa lalu yang kurang memberi ruang bagi pengembangan sikap mandiri dan kreativitas di kalangan peserta didik.
Maraknya praktek KKN yang semakin transparan , kerusuhan, amuk massa, tawuran antar desa juga antar mahasiswa, tindakan-tindakan anarkhis dan meningkatnya kecenderungan penggunaan cara-cara tidak demokratis, menunjukan bahwa pembelajaran PKn kurang berhasil. Hal ini senada dengan pendapat International Commision of Jurrits (2003:1).bahwa kita kurang berhasil menyelenggarakan PKn seperti diamanatkan dalam Undang-Undang tentang Sistem Pendidikan Nasional Isi maupun cara penyampaiannya sangat tidak memuaskan. Isinya hanya mencatat hal-hal yang baik-baik, cara penyampaiannya pun searah, bahkan indoktrinatif. Padahal salah satu syarat terselenggaranya pemerintahan yang demokratis ialah adanya PKn (civics).














BAB II
Pembelajaran PKn Mengalami Kegagalan dalam Implementasinya
Pakar ilmu perundang-undangan Universitas Andalas (Unand), Padang, Prof. Dr. Yuliandri, mengatakan, pembelajaran pendidikan kewarganegaraan dinilai 'gagal' sebagai media pemahaman nilai-nilai Pancasila."Pembelajaran pendidikan kewarganegaraan hanya sekedar menyampaikan sejumlah pengetahuan (ranah kognitif) sedangkan ranah afektif dan psikomotorik masih kurang diperhatikan.
Menciptakan situasi kelas yang inspiratif, interaktif, dan menyenangkan dalam pembelajaran PKn, tidaklah mudah. Sebagian besar siswa masih menganggap PKn sebagai pelajaran yang mementingkan hafalan. Pengetahuan yang diberikan guru dianggap kurang memberdayakan potensi kognitif,afektif dan psikomotorik siswa secara optimal. Selain itu adanya alasan lain, misalnya:
1. Guru dipandang sebagai orang yang sangat berkuasa
Peranan guru sangat dominan. Dia menentukan segala hal yang dianggap tepat untuk disajikan kepada para siswanya. Guru dipandang sebagai orang yang serba mengetahui, berarti guru adalah yang paling pandai. Dia mempersiapkan tugas-tugas, memberikan latihan-latihan dan menentukan peraturan dan kemajuan tiap siswa
2. Siswa selalu bersikap dan bertindak pasif
Siswa dianggap sebagai tong kosong, belum mengetahui apa-apa. Dia hanya menerima apa yang diberikan oleh gurunya. Siswa bersikap sebagai pendengar, pengikut, pelaksana tugas. kebutuhan, minat, tujuan, abilitas dan lain-lain yan dimiliki oleh siswa diabaikan dan tidak mendapat perhatian guru.


3. Kegiatan pembelajaran hanya berlangsung dalam kelas
Pembelajaran dilaksanakan dalam batas-batas ruangan kelas saja, sedangkan pembelajaran di luar kelas tak pernah dilakukan. Tembok sekolah menjadi benteng yang kuat yang membatasi hubungan dengan kehidupan masyarakat. Para siswa duduk pada bangku-bangku yang berdiri kokoh, tak bisa dipindah-pindahkan. Mereka duduk dengan rapi dan kaku secara rutin setiap hari. Ruangan kelas dipandang sebagai ruang penyelamat, ruang memberi kehidupan. Belajar dalam batas-batas ruangan itu adalah belajar yang paling baik
Untuk mengubah anggapan tersebut, guru dituntut memiliki kemampuan dan ketrampilan untuk mencari strategi pembelajaran kreatif yang melibatkan siswa secara aktif dengan mengutamakan penguasaan kompetensi. Rumusannya mengembangkan karakter yang cerdas dan budaya nalar terhadap konsep,nilai serta perilaku demokratis warga Negara.
Sebagai proses pencerdasan,pendekatan pembelajaran PKn harus memungkinkan suasana kelas menjadi lebih inspiratif dengan pelatihan penggunaan logika serta penalaran.Guru bisa memberikan pembelajaran yang digali dari fenomena yang terjadi di lingkungan masyarakat sebagai pengalaman langsung.
Pembelajaran pendidikan kewarganegaraan cenderung menjenuhkan siswa. Hal ini diperparah dengan adanya anomali antara nilai positif di kelas tidak sesuai dengan apa yang terjadi dalam realitas sehari-hari. "Sungguh dua realitas yang sangat kontras dan kontradiktif," kata dia. Oleh karena itu, pembelajaran pendidikan kewarganegaraan harus dikemas sedemikian rupa, sehingga mampu menjadi alat pemahaman nilai-nilai Pancasila bagi generasi muda.
Di samping itu, kepemimpinan nasional harus membawa Pancasila ke dalam wacana dan kesadaran publik dan harus bicara tentang pentingnya Pancasila dalam berbagai aspek kehidupan bangsa. Sudah waktunya kepemimpinan nasional dan pejabat-pejabat publik lainnya, memberikan perhatian khusus kepada ideologi pemersatu ini, jika mereka betul-betul peduli pada identitas nasional dan integrasi negara bangsa Indonesia, melalui prinsip-prinsip dasar yang dikandung Pancasila sebagai 'vision of state', maka dalam melakukan proses itu menuntut peran optimal dari negara dan pemerintah serta dukungan sepenuhnya dari 'civil society'. Sehingga pada akhirnya, melalui bingkai hukum dan sistem perundang-undangan yang ada, bangunan negara dan bangsa yang didirikan para pendiri negara akan dapat berdiri kokoh.
Faktor akhlaklah yang menjadi penyebab utama keterpurukan negara-negara terbelakang. Hal ini menandaskan, dalam kehidupan apapun segala persoalan harus menempatkan pembenahan perilaku menjadi perhatian utama. Oleh karena itu, untuk mendapatkan hasil yang dicita-citakan Pancasila, dibutuhkan pemahaman bersama (mutual understanding) dan tingkat pendidikan yang lebih baik (well educated). Hal ini agar kesan yang muncul dari Pancasila sebagai ideologi tidak terlalu apologetik.
Terjadinya kegagalan pembelajaran PKn dalam implementasinya, kiranya sudah sangat mendesak diadakannya perubahan paradigma dalam PKn yang dikembangkan pada lembaga pendidikan. Di samping perubahan paradigma dalam bidang materi, tidak kalah pentingnya perubahan dalam bidang paradigma metodologis. Apabila perubahan pada paradigma yang pertama diarahkan secara sistematis pada pengembangan wacana demokrasi yang berkeadaban dalam dinamika perubahan sosial yang berkembang, maka perubahan paradigma metodologis diarahkan untuk mengembangkan daya nalar peserta didik dalam kelas-kelas yang partisipatif, sehingga peserta didik benar-benar dapat “mengalami demokrasi” dalam proses pembelajaran PKn.
Hambatan dan permasalahan lain menurut Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi (2002:3) adalah adanya tangggapan kurang simpatik masyarakat kampus (civitas akademika) terutama mahasiswa terhadap matakuliah Pendidikan Pancasila, Pendidikan Agama dan Pendidikan Kewarganegaraan sebagai akibat proses pendidikan tiga dasawarsa terakhir yang bersifat indoktrinasi sehingga isi, makna, dan manfaat yang diperoleh dari mempelajari ketiga matakuliah tersebut tidak terasa.







BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Pembelajaran pendidikan kewarganegaraan hanya sekedar menyampaikan sejumlah pengetahuan (ranah kognitif) sedangkan ranah afektif dan psikomotorik masih kurang diperhatikan. Pembelajaran pendidikan kewarganegaraan cenderung menjenuhkan siswa. Sebagian besar siswa masih menganggap PKn sebagai pelajaran yang mementingkan hafalan. Selain itu disebabkan alasan – alasaan, antara lain Guru dipandang sebagai orang yang sangat berkuasa, Siswa selalu bersikap dan bertindak pasif, Kegiatan pembelajaran hanya berlangsung dalam kelas.
Sebagai proses pencerdasan,pendekatan pembelajaran PKn harus memungkinkan suasana kelas menjadi lebih inspiratif dengan pelatihan penggunaan logika serta penalaran.Guru bisa memberikan pembelajaran yang digali dari fenomena yang terjadi di lingkungan masyarakat sebagai pengalaman langsung
Guru dituntut memiliki kemampuan dan ketrampilan untuk mencari strategi pembelajaran kreatif yang melibatkan siswa secara aktif dengan mengutamakan penguasaan kompetensi. Rumusannya mengembangkan karakter yang cerdas dan budaya nalar terhadap konsep,nilai serta perilaku demokratis warga Negara.
Terjadinya kegagalan pembelajaran PKn dalam implementasinya, kiranya sudah sangat mendesak diadakannya perubahan paradigma dalam PKn yang dikembangkan pada lembaga pendidikan. Di samping perubahan paradigma dalam bidang materi, tidak kalah pentingnya perubahan dalam bidang paradigma metodologis. Sehingga peserta didik benar-benar dapat “mengalami demokrasi” dalam proses pembelajaran PKn.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar